18.4.07

jika Allah membayar kontan

Teman, pernahkah mengalami ketika menginginkan sesuatu tetapi tidak mendapatkannya? Semakin menginginkan, semakin pula sulit mendapatkannya? Merana? Tak perlu lagi! Karena apa yang kita inginkan belum tentu kita butuhkan. Tetapi ada cara yang lebih jitu mendapatkan apa yang kita butuhkan. (Mohon bedakan antara keinginan dan kebutuhan, ya)

Sebuah kisah nyata tentang seorang lelaki yang terpaksa memberikan tempat duduknya di bus kepada seorang perempuan muda. Bukan karena perempuan itu hamil atau membawa barang-barang berat. Bukan pula karena tidak ada penumpang lain yang mau menyerahkan tempat duduknya kemudian merasa iba. Tetapi karena ia merasa risih duduk dan melihat (maaf) perut pada celah antara baju potong dan celana ketat yang dikenakan perempuan itu.

Ternyata langkah yang diambil oleh lelaki itu sangat tepat, karena dia telah menyelamatkan matanya dari zina, dan menyelamatkan perempuan itu dari fitnah. Pada hari yang sama, lelaki itu menumpang angkot untuk pulang. Di dalam angkot dia bertemu dengan temannya. Tak dinyana, ongkos angkotnya dibayarkan oleh sang teman.

Cerita belum selesai, ketika turun dari angkot hari gerimis menjelang magrib. Lelaki itu masuk ke masjid untuk melaksanakan salat magrib berjamaah. Hujan deras turun ketika salat jamaah ditegakkan. Selesai berdoa, hujan mereda sehingga lelaki itu dapat berjalan pulang ke rumahnya. Hujan kembali deras sesampainya dia di rumah. Seperti dongeng, tapi nyata.

Lelaki itu menginginkan untuk tetap duduk, tetapi Allah mengetahui kebutuhannya membayar ongkos angkot. Lelaki itu menginginkan untuk pulang cepat, tetapi Allah memberinya kesempatan untuk shalat di rumah-Nya dan mengantarnya pulang dalam keadaan kering. Allah membalas kebaikan yang dilakukannya secara kontan.

Teman, si lelaki menginginkan sesuatu tetapi yang dia dapatkan bukan apa yang dia inginkan melainkan yang dia butuhkan. Yang mengetahui kebutuhannya dan pasti akan mencukupinya hanyalah Allah.

Jadi, buat apa merana jika keinginan kita tidak terpenuhi?

4.4.07

di mana senyuman itu?

teman, ada kisah tentang senyuman, yaitu kenyataan bahwa senyuman sempat menjadi barang mahal yang sulit didapatkan.

"jangan suka senyum sendiri, nanti dikira gokil," begitu saran yang dulu pernah terdengar. tidak salah memang saran tersebut, mengingat ada beberapa orang karena tak sanggup menanggung beban hidup harus menjadi pesakitan jiwa. terkadang mereka senyum-senyum sendiri, entah apa yang mereka senyumkan, yang jelas gelar "gokil" tersemat di tubuh mereka yang tak lagi terurus secara wajar.

fantastisnya, sejak saran itu menjadi pemeo yang tak ditolak publik, kita jadi sulit tersenyum. hidup adalah keseriusan dan kecurigaan. tak sempat lagi tersungging senyuman di sudut bibir, apalagi tawa yang mencairkan suasana. jadi kaku. awalnya karena tuntutan profesi, selanjutnya terbawa ke kehidupan pribadi.

masa pun berubah, senyuman diakui sebagai keramahan dan senyum membawa pemiliknya kepada strata yang lebih prestise. senyuman sempat pula menjadi basa-basi politik dari tingkatan teratas sampai tingkatan terbawah.

entah di mana senyuman menempati posisinya saat ini? walau masih sering dijumpai senyuman tulus kita tak berbalas setimpal, lebih sering dibalas dengan rasa curiga.

namun teman, selama kita masih tulus menebarkan senyuman, benar-benar tulus, selama itu pula sebenarnya kita telah menuai kekayaan hati, dan juga pahala. boleh saja di antara senyuman kita itu, turut menghidupi jiwa yang sempat mati, turut menyirami hati yang sempat kering, turut menyuburkan senyuman di tempat lain.

keep smile! :)